Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 15 Maret 2013

psikologi intelijensi


INTELIJENSI
A.    PENGERTIAN INTELIJENSI
Ialah kemampuan yang dibawa sejak lahir,yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu.
Willian stern mengemukaakan batasan sebagai berikut: intelijensi ialah kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada, kebutuhan baru dengan menggunakan alat-alat  berfikir yang sesuai dengan tujuannya.
Willian stern berpendapat bahwa intelijensi sebagian besar tergantung dengan dasar dan turunan. Pendidikan dan lingkungan tidak begitu berpengaruh pada intelijensi seseorang. Juga Prof.Waterink seorang guru di Amsterdam,, menyatakan bahwa menurut belum dapat dibuktikan bahwa intelijensi dapat diperbaiki atau dilatih. Belajar berfikir hanya diartikannya, bahwa banyaknya pengetahuan bertambah akan tetapi tidak berarti bahwa kekuatan berfikir bertambah baik.
Hal itu membuktikan bahwa intelijensi pada anak-anak yang lemah fikiran dapat juga dididika dengan cara yang lebih tepat. Juga kenyataan membuktikan bahwa daya pikir anak-anak yang telah mendapat didikan dari sekolah, menunjukan sifat-sifat yang lebih baik dari pada anak yang tidak bersekolah.
Dari batasan yang dikemukakan diatas, dapat kita ketahui bahwa:
1.      Intelijensi ialah faktor total. Berbagai macam daya jiwa erat bersangkutan didalamnya (ingatan, fantasi, perasaan, perhatian, minat dan sebagainya turut mempengaruhi intelijensi seseorang).
2.      Kita hanya dapat mengetahui intelijensi dari tingkah laku atau perbuatannya yang tampak. Intelijensi hanya dapat kita ketahui dengan cara tidak langsung, melalui “ kelakuan intelijensinya”.
3.      Bagi suatu perbuatan intelijensi bukan hanya kemampuan yang dibawa sejak lahir saja yang penting. Faktor-faktor lingkungan dan pendidikan pun memegang peranan.
4.      Bahwa manusia itu dalam kehidupannya senantiasa dapat menentukan tujuan-tujuan yang baru, dapat memikirkan dan menggunakan cara-cara untuk mewujudkan dan mencapai tujuan itu.[1]
B.     HAKIKAT INTELIJENSI
            Inti persoalan daripada sifat intelijensi itu dapat dirumuskan dengan pertanyaan: “Apakah intelijensi itu?”. Pertanyaan ini justru dalam bentuk yang demikian itu menjadi objek diskusi yang hangat bagi banyak ahli-ahli psikologi, terutama disekitar tahun-tahun 1900-1925. Persoalanya telah tua sekali, lebih tua dari psikologi itu sendiri, karena hal tersebut telah dibahas oleh ahli-ahli filsafat dan kemudian ahli-ahli biologi sebelum psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendirih ahli.
            Para ahli psikologi mila-mula membahas masalah tersebut, yaitu sifat hakikat intelijensi, memakai metode filsafat, yaitu merka menyusun definisi mengenai intelijensi itu atas dasar pemikiran spekulatif-logis. Pada waktu yang bersamaan dengan kejadian yang dikemukakan di atas itu tes-tes yang mula-mula berhasil disusun oleh beberapa ahli. Sepanjang pengalaman penulis tidaklah selalu ada hubungan yang jelas antara definisi mengenai intelijensi dan pengukuran intelijensi yang diajukan oleh seorang ahli.[2]
            Di sini secara garis besar akan dikemukakan berbagai konsepsi mengenai intelijensi itu, yang merupakan jawaban bagi pertanyaan “Apakah intelijensi itu?” yang tersebut dimuka. Konsepsi-konsepsi tersebut pada dasarnya digolongkan-golongkan menjadi lima kelompok, yaitu:
1)      Konsepsi-konsepsi yang bersifat spekulatif
2)      Konsepsi-konsepsi yang bersifat pragmatis
3)      Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analisis faktor yang kiranya dapat kita sebut konsepsi-konsepsi faktor
4)      Konsepsi-konsepsi yang bersifat operasional
5)      Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analisa fungsional,yang kiranya dapat kita sebut konsepsi-konsepsi fungsional.
1.      Konsepsi-konsepsi yang bersifat spekulatif
Spearmen, dalam bukunya yang terkenal, yaitu The Abilities of Man (1927) mengelompokan konsepsi-konsepsi yang bersifat spekulatif yang menjadi tiga kelompok, yaitu:
a)      Yang memberikan definisi mengenai intelijensi umum
b)      Yang memberikan definisi mengenai daya-daya jiwa khusus yang merupakan bagian daripada intelijensi,
c)      Yang memberikan definisi intelijensi sebagai taraf umum daripada sejumlah besar daya-daya khusus[3].
2.      Konsepsi-konsepsi yang bersifat pragmatis
Dasar dari konsepsi ini kiranya adalah diyatakan oleh Boring, bahwa intelijensi apa yang dites oleh tes intelijensi, dia menulis antara lain;
Intelligence is what the tes-tes. This is narrow definition, but it is the only point of departure for a rigorous discussion of  the best. It would be better if the psychologists could have used some other and more technical trem; since the ordinary connotation intelligence is much broader. The damage is done, bowever, and no barm need result if we but remember that measurable intelligence is simply what the test of intelligence test, until further scientific observation allows us to extend the definition
            Konsepsi ini cocok sekali dengan selera banyak ahli d Amerika Serikat. Kurang radial daripada pendapat Boring itu ialah pernyataan Terman, bahwa inteligensi itu dapat diukur sesuai dengan definisinya. Pernyataan ini dianalogikan dengan pengetahuan tentang lisrtik; mengukur terhadap listrik  tergantung pada definisi yang diberikannya, panasnya, alirannya dan sebagainya.
            Jika sekitarnya ini benar, maka sebenarnya dengan tes itu kita tidak mendapatkan pengetahuan baru sama sekali karena yang di ukur itu kita sudah mengerti sebelumnya.
3.      Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analisis faktor yang kiranya dapat kita sebut konsepsi-konsepsi faktor
Konsep-konsep ini dinamakan demikian sebenarnya beralas pada kenyataan bahwa di dalam penyelidikan dan mencari sifat hakikat intelijensi itu orang mempergunakan teknik analisis faktor, suatu teknik yang mula-mula dirintis oleh Spearman, dan kemudian cepat berkembang, terutama di daerah Anggo saksis. Psikologi yang begitu besar perannya dalam psikologi dewasa ini banyak sekali bersetandar kepada analisis faktor itu.
4.      Konsepsi-konsepsi yang bersifat oprasional
Apakah intelijensi itu? Jawaban terhadap pertanyaan pertanyaan ini dengan memberikan definisi yang disusun secara sekehendak, umumnya dianggap tidak memuaskan oleh para ahli psikologi. Jalan inilah yang ditempuh oleh mereka yang memakai cara pendekatan filsafati. Kaum pragmatis membalik jalan yang ditempuh oleh para ahli yang memakai cara pendekatan filsafati itu. Mereka tidak menentukan definisi mengenai intelijensi (jadi menentukan: apakah intelijensi itu) dan berusaha mengukurnya, melainkan mereka menyusun tes dan menyatakan “ intelijensi adalah apa yang diukur oleh tes ini” tetapi cara pendekatan secara pragmatis ini juga tidak memuaskan, dan sebenarnya juga sekehendaknya (semau-maunya).
Selanjutnya para pengikut teori faktor mengikuti jalan pikiran demikian: pertama kita menyusun peta atau gambar objektif mengenai organisasi mental, dengan cara menganalisis tes-tes yang telah kita miliki sampai dewasa ini selanjutnya dengan langkah yang kedua kita menyusun tes yang murni mengenai kemampuan-kemampuan yang didefinisikan secara objektif dalam analisis faktor.
Ahli-ahli yang mengikuti operasionisme mengajukan keberatan-keberatan terhadap pendapat para pengikut teori faktor itu, yaitu pertama mendefinisikan, dan kedua mengikurnya
Keberatan yang pertama ialah karena tidak (operation) pengukuran itu sendiri sebenarnya secara implicit telah pula mendefinisikan.
Selanjutnya, keberatan yang kedua, ditunjukan pada jalan pikiran ini: dengan menganalisis hasil tes-tes, ahli-ahli yang mengikuti teori faktor berpendapat telah mengetahui faktor-faktor intelijensi itu, tetapi kata pengikut operasionisme di manakah letak faktor itu? Cara yang demikian itu secara operasional tak dapat diterima.
5.      Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analisa fungsional,yang kiranya dapat kita sebut konsepsi-konsepsi fungsional
Konsepsi ini disusun atas dasar pemikiran atau analisis mengenai bagaimana berfungsinya intelijensi itu, lalu dirumuskan sifat-sifat hakikatnya atau definisinya.
Salah satu definisi yang disusun atas dasar cara seperti yang dikemukakan ialah teori Binet. Binet menyatakan sifat dan fungsi intelijensi itu ada tiga macam, yaitu:
a.       Kecenderungan untuk menetapkan dan mempertahankan (memperjuangkan) tujuan tertentu. Makin cerdas seseorang, akan makin cakaplah dia membuat tujuan sendiri, punya inisatif sendiri, tidak menunggu perintah saja. Dan makin cerdas seseorang, maka dia akan makin tetap pada tujuan itu, tidak mudah dibelokan oleh orang lain dan suasana lain.
b.      Kemampuan untuk mengadakan penyesuaian dengan maksud untuk mencapai tujuan itu. Jadi makin cerdas seseorang dia akan makin dapat menyesuaikan cara-cara menghadapi sesuatu dengan semestinya; makin dapat bersifat kritis.
c.         Kemampuan untuk oto-kritik, yaitu kemampuan untuk mengkritik diri sendiri, kemampuan untuk belajar darui kesalahan yang telah dibuatnya. Makin cerdas seseorang makin dia dapat belajar dari kesalahan; kesalahan yang telah dibuatnya tidak muda diulangi lagi.
Langeveld yang mengikuti Stern, memberitaukan definisi intelijensi sebagai disposisi untuk bertindak, untuk menunjukan tujuan-tujuan baru dalam hidupnya, membuat alat untuk mencapai tujuan itu serta mempergunakannya. Pendapat ada miripnya juga dengan apa yang dikemukakan oleh Binet.
Selanjutnya, Stern memberikan penjelasan lebih jauh mengenai disposisi untuk bertindak, yaitu:
a)      Disposisi itu tidak merupakan faktor yang mempunyai batas tajam dengan segi-segi kepribadian yang lain, melainkan hanya merupakan sektor-sektor daripada kepribadian yang tidak dapat berdiri sendiri.
b)      Disposisi ini tidak semata-mata ditentukan oleh dasar, tetapi ditentukan juga oleh faktor dari luar atau kovergensi antara faktor dasar dan pengaruh luar.
c)      Disposisi ini bermakna rangkap, yaitu potensi dan berarah tujuan. Potensi-potensi tertentu mempunyai tujuan terentu.
d)     Disposisi itu gejala-gejalanya dapat muncul dalam kesadaran, tetapi bukanlah apa yang bias disebut “gejala kesadaran”. Misalnya intelijensi bukan lah gejala berfikir, akan tapi yang merupakan syarat mutlak bagi aktifitas berfikir itu.
Sampai disini dikemukakan berbagai macam konsepsi mengenai intelijensi. Nyata sekali tidak ada satu konsepsi pun yang dapat menjelaskan intelijensi itu secara tuntas, secara selesai tanpa sisa; tiap konsepsi masih meninggalkan masalah yang belum terselesaikan. Lalu bagaimana pendirian kita? Toh harus ditentukan pendirian? Pada hemat penulis konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analisis fungsional lebih sesuai dengan kenyataan dan lebih sesuai dengan kebutuhan kita sebagai pendidik, sampai nanti ada konsepsi yang dapat merangkum, yaitu yang dapat menghimpun macam-macam konsepsi dalam satu bangunan teori yang selaras.
C.   INTELIJENSI DALAM PENDIDIKAN
Intelejensi adalah suatu kemampuan manusia untuk menerima  informasi dari lingkungan sekitar, informasi yang diterimanya semakin hari semakin bertambah. Ini terlihat pada masa tumbuh kembang anak, persoalan mengenai intelejensi sebenarnya sudah sama tuanya dengan manusia itu sendiri. Semenjak manusia mulai memikirkan dirinya sendiri dia telah mempersoalkan hal- hal yang berkenaan dengan apa yang disebut intelejensi.[4] Anak yang tumbuh berkembang dalam lingkungan bernilai pendidikan maka dia akan memilki intelejensi yang baik tapi jangan juga kita mengira bahwa anak yang tumbuh di lingkungan yang kurang dari nilai pendidikan tidak memilki intelejensi, setiap manusia memiliki intelejensi yang berbeda- beda hal ini dikarenakan tingkat dan tempat informasi yang didapatkan. Intelejensi Aberkembang dan dapat dibina seiring dengan pertumbuhan kita, terutama pada lima tahun pertama dalam kehidupan kita, melalui lingkungan dan pengaruh orang tua dan guru-guru.[5]   Intelejensi berdasarkan pengaruhnya dibedakan menjadi dua yaitu keturunan dan linkungan. Jadi orang tua yang ingin anaknya tumbuh dan berkembang dengan baik tentu mereka akan menyediakan media dan hal- hal lain yang dianggap penting dalam perkembangan intelejensi anak. Intelejensi manusia pada dasarnya diawali  dengan kesadaran  dan berkaitan dengan kapasitas akal, yang terbentuk melalui perencanaan, tindakan dan akibat- akibatnya atau perolehan- perolehan yang ditimbulkannya[6]. Manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan intelektual, sehingga dia dapat menerima pelajaran dari tuhan. Konsep ini mendorong manusia supaya ingin menggali potensinya secara matang dan utuh. Semua kegiatan itu bisa terwujud melalui proses belajar. Melalui proses belajar maka lahirlah bentuk buah karya manusia atau budaya. Dalam hubungannya budaya sangat erat keterkaitannya dengan pendidikan, karena salah satu definisi pendidikan antara lain suatu upaya menciptakan manusia agar memiliki kemampuan untuk menciptakan kebudayaan dan kemudian budaya tersebut ditransformasikan melalui pendidikan.  Dengan cara demikian, maka dia dapat mengasah akal dan jiwanya untuk membangkitkan intelejensinya untuk memperoleh berbagai informasi, wawasan dan ketrampilan dan sebagainya berdasarkan usahanya sendiri. Dalam pendidikan, intelejensi peserta didik sangat dibutuhkan untuk bisa memahami, menangkap dan mampu mengidefinasikan pelajaran agar dengan demikian dia mau belajar. Hal ini harus didukung dengan kurikulum dan sarana dan prasarana serta suasana belajar yang memotivasi peserta didik untuk menggunakan potensi- potensi kejiwaannya itu. Ini merupakan tugas guru, harus mampu memengaruhi peserta didiknya agar mau membangkitkan potensinya. Setiap peserta didik yang mengikuti kegiatan belajar memiliki tingkat dan jenis karakteristik yang beragam, peserta didik yang belajar berarti mengunakan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik terhadap lingkungannya[7], Sambil bergerak memperhatikan lingkungannya, kita memproses informasi, berupa memperhatikan mengingat, berpikir, memecahkan masalah, dan menarik kesimpulan. Cara ini sangat berguna dalam meningkatkan intelejensi, tingkat intelejensi diukur berdasarkan kecepatan memecahkan masalah. Belajar atau pendidikan adalah permulaan yang penting dalam perkembangan intelejensi, tidak mengherankan jikalau belajar itu bertujuan  untuk mencapai tujuan yang lebih baik yang  ditetapkan oleh diri sendiri.  Dalam pendidikan, intelejensi menjadi dua dimensi yaitu:
1.             Kemampuan verbal yang tercermin dalam perilaku  seperti menampilkan kosa kata yang baik membaca dengan pemahaman yang tinggi, berpengetahuan mendalam dalam suatu bidang pengetahuan tertentu dan menunjukan rasa ingin tahu.
2.             Keterampialan memecahkan masalah berupa mampu menerapkan pengetahuan dalam menghadapi masalah dan membuat keputusan yang baik.[8]
Maka intelejensi harus diterapkan dalam proses belajar, pendidikan yang berarti mentransfer ilmu, memerlukan  objek yaitu manusia yang berintelejensi untuk dapat menangkap informasi yang disampaikan.
D.   KESIMPULAN
Kecerdasan atau dengan kata lain disebut intelijensi merupakan salah satu faktor terpenting dalam pembentukan karakter seseorang. Kecerdasan ini juga yang mempengaruhi tingkat kesuksesan dari seorang manusia. Dan ternyata intelijensi begitu besar pengaruhnya dalam dunia pendidikan, dimana seorang peserta didik harus dibentuk intelijensinya dengan baik. Sehingga saat beranjak dewasa ia akan mudah berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Harry Alder, Boost your Intellegence, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001.
H. Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta: Penerbit kencana 2009.  
John W. Santrock, Adolescence Perkembangan Remaja, Jakarta: Penerbit Erlangga 2003.
M.Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Bandung: Penerbit Remaja Rosda Karya, 1984.
Sumardi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Sumardi Suryabrata, Pengembangan Alat Ukur Psikologi, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004.
.



[1] M.Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan,( Bandung: Penerbit Remaja Rosda Karya, 1984), hal 53
[2] Sumardi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal.121-122.
[3] Ibid, hal. 124-135
[4] Sumardi Suryabrata. Pengembangan Alat Ukur Psikologi, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004), hlm. 49.  
[5] Harry Alder. Boost your Intellegence, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001), hlm. 1.
[6] H. Abuddin Nata. Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Penerbit kencana 2009), hlm. 34.  
[7] H. Abuddin Nata. Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Penerbit Kencana 2009), hlm. 109-110.    
[8][8] John W. Santrock. Adolescence Perkembangan Remaja, ( Jakarta: Penerbit Erlangga 2003), hlm. 144.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mudah-mudahan bermanfaat

 

Blogger news

Apa yang anda pikirkan tentang blog ini?