Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 19 Desember 2012

NÂSIKH MANSÛKH DALAM ALQURAN

Oleh: Ririn AR.
A. Pendahuluan
Diskursus tentang naskh dalam Alquran tidak dipungkiri lagi sebagai salah satu kajian yang cukup menarik sekaligus rumit. Hal ini menyebabkan para ulama terbagi kepada dua kelompok. Satu kelompok mendukung adanya naskh dan kelompok lain menolak eksistensi naskh dalam Alquran.
Perdebatan tersebut menurut Quraish Shihab berawal dari perbedaan para ulama dalam menghadapi ayat-ayat Alquran yang mempunyai makna kontradiksi dengan ayat lainnya.[1] Ketika ayat-ayat yang dianggap kontradiksi tersebut dikaji lebih jauh, ternyata – menurut sebagian ulama – dapat dikompromikan.
Pembahasan naskh dalam Alquran menjadi penting, karena Alquran adalah kitab suci, sebagai firman Tuhan. Kalau seandainya dalam Alquran sendiri ada ketidakkonsistenan, dengan adanya naskh (dalam pengertian kontradiksi), maka Islam secara keseluruhan dapat dianggap tidak konsisten dan dapat dengan mudah dirobohkan. Apalagi Alquran yang diturunkan hanya memakan waktu lebih kurang 23 tahun.
Dalam makalah yang sangat sederhana ini, penulis memberanikan diri untuk membahas tentang naskh, khususnya dalam Alquran. Pembahasan makalah ini meliputi: pengertian naskh; perbedaan naskh dengan takhshish; kriteria dan macam-macam naskh, dan; perbedaan pendapat ulama tentang naskh.
Dengan penuh kesadaran, penulis mengakui bahwa makalah ini penuh dengan kekurangan dan kelemahan. Kritik yang membangun dan masukan yang berargumen dan bereferensi sangat diharapkan untuk perbaikan makalah ini mendatang, agar dapat dijadikan bahan baca umum.
B. Pengertian Naskh
            Mufti Mesir, Prof. Dr. Ali Jum'ah, dalam bukunya an-Naskh `ida al-Usuliyyîn, menjelaskan makna naskh secara etimologi ada tiga:[2]
  1. Menghilangkan dan menghapus sesuatu. Arti ini dipertegas oleh Alquran:

 فَيَنسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ

          Artinya, "…. Allah menghapus apa yang dimasukkan oleh syaitan itu."[3]  
  1. Menghilangkan/menghapus sesuatu dan menggantikannya dengan yang lain. Makna ini ditegaskan oleh Alquran:

مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا

      Artinya, "Ayat mana saja yang kami nasakh, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya."[4]
  1. Memindahkan sesuatu dari tempat ke tempat yang lain. Reinkarnasi adalah perpindahan roh dari suatu tubuh ke jasad yang lain. Dalam bahasa Arab disebut dengan tanasukh ( تناسخ ).
Tiga makna yang sama juga diterangkan oleh Ibnu Manzur dalam Lisan al-`Arab-nya. Ia menerangkan satu makna lagi, yakni menulis dan menetapkan.[5] Makna ini diperkuat oleh firman Allah:

إِنَّا كُنَّا نَسْتَنسِخُ مَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Artinya, "Sesungguhnya Kami telah menyuruh (untuk) mencatat (dan menetapkan) apa yang telah kamu kerjakan."[6]
Secara terminologi, para ulama pun berbeda pendapat tentang defenisi naskh. Ulama-ulama klasik, dalam mendefenisikan naskh berkisar pada:
1.      Pembatalan hukum oleh hukum yang datang kemudian.
2.      Pengkhususan yang umum oleh yang khusus.
3.  Menjelaskan yang mubham dan mujmal dengan penjelasan yang datang kemudian.
4.      taqyîd mutlaq, penetapan syarat bagi yang tidak bersyarat.[7]
Defenisi di atas dipandang terlalu luas, hingga perlu untuk mempersempit definisi tersebut untuk mewakili maksud dari naskh saja. Ali Jum`ah menyebutkan, setidaknya ada tiga definisi:[8]
1.    Naskh adalah mengangkat hukum syar`i dengan dalil yang syar`i yang datangnya belakangan. Definisi ini dipilih oleh Qadhi Abu Bakr al-Baqillani, Ibnu Hajib, dan as-Subki.
2.  Naskh adalah khitab yang menunjukkan atas terangkatnnya hukum yang telah ditetapkan dengan khitab yang datang belakangan, yang kalaulah tidak datang khitab itu niscaya hukum yang pertama tetap berlaku. Definisi ini diucapkan oleh Imam al-Ghazali, as-Sairafi, Abu Ishaq asy-Syirazi, dan al-Amidi.
3.   Naskh adalah keterangan berakhirnya hukum syar`i dengan cara yang syar`i yang datangnya belakangan. Definisi ini diucapkan oleh al-Baidhawi.
           
            Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa naskh secara terminologi adalah ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan yang berlaku adalah yang ditetapkan belakangan.

C. Perbedaan Naskh dengan Takhshîsh
       Takhshîsh adalah pengkhususan dalil yang umum dengan dalil yang khusus. Implikasinya adalah membatasi hukum umum dan memberikan hukum khusus pada sesuatu. Seperti dalil umum hukum “puasa Ramadhan wajib atas umat muslim” kemudian dikhususkan dengan dalil lainnya, yakni “kecuali orang-orang yang sakit atau dalam perjalanan”. Cakupan umum dalil pertama atas semua umat muslim dibatasi oleh dalil kedua, bahwa tidak termasuk di dalam cakupan dalil tersebut orang-orang yang sakit atau dalam perjalanan. Senada dengan takhshîsh adalah taqyîd al-mutlak  dan bayân al-mubham.
            Aplikasi dalil hukum yang pertama (âmm) tetap berlaku selain bagi orang-orang yang sakit dan dalam perjalanan, meskipun telah muncul dalil hukum yang mengkhususkannya. Di sinilah salah satu letak perbedaan antara takhshîsh dengan naskh. Dalam naskh, hukum yang telah manshûkh tidak lagi berlaku untuk selamanya.
            Dari segi dalil yang men-takhshîsh yang âmm, terdapat perbedaan dengan naskh, bahwa dalam naskh  tidak terdapat ayat yang di-naskh oleh ayat yang menaskh pada nomor ayat yang sama, artinya tidak ada ayat yang di-naskh oleh ayat yang persis datang setelahnya. Lain halnya dengan takhshîsh yang pada banyak ayat yang umum, takhshîshnya sering kali terdapat di dalam ayat tersebut.
            Perbedaan lainnya adalah keberadaan redaksinya, semua dalil âmm meski telah ditakhshîsh tetap dapat dilihat redaksinya dalam Alquran, berbeda dengan ayat yang manshûkh yang sebahagiannya tidak lagi terdapat dalam Alquran. 
            Kedua hal ini mengakibatkan pada perbedaan selanjutnya yakni kesepakatan para ulama pengkaji ilmu-ilmu Alquran atas adanya takhshîsh berbeda dengan naskh yang masih diperdebatkan.
            Ali Jum`ah menyebutkan ada 19 perbedaan antara naskh dan takhsis dengan segala perbedaan pendapat antar-ulama, diantara perbedaan yang penting adalah:[9]
  1. Takhshîsh boleh diiringi secara bersamaan dengan âmm, mendahuluinya, atau datang kemudian. Sedangkan nâsikh mestilah datang belakangan dari ayat manshûkh.
  2. Naskh adalah mengangkat hukum setelah ditetapkan. Sedangkan takhshîsh menjelaskan makna yang umum.
  3. Takhshîsh tidak diperlukan kecuali dalam hal yang umum, sedangkan naskh bisa mengangkat hukum yang umum atau bahkan yang khusus sekaligus.
  4. Takhshîsh zhanni boleh terjadi pada hal yang qath`i, sedangkan nasikh mestilah qath`i.

D. Kriteria dan Macam-Macam Naskh
            Sebagian ulama yang menerima adanya naskh berpendapat bahwa naskh baru dapat dilakukan apabila:
1.      Terdapat dua ayat yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan.
2.      Harus diakui secara meyakinkan urutan turunnya, ayat nâsikh lebih akhir dibanding ayat yang Mansûkh.
3.  Hukum yang manskûh tidak abadi, tapi bersifat sementara, karenanya ayat-ayat tertentu bisa saja di-naskh.[10]
Secara umum naskh dapat dibagi sebagai berikut: [11]
1.      Naskh Alquran dengan Alquran.
2.      Naskh Sunnah dengan Sunnah.
3.      Naskh Sunnah dengan Alquran.
4.      Naskh Alquran dengan Sunnah.
           
Bagi uluma yang setuju dengan adanya naskh dalam Alquran, naskh dibagi menjadi tiga:[12]
1.      Mansûkh tilâwah-nya, yakni redaksi ayatnya dalam Alquran, akan tetapi hukumnya tetap berlaku. Seperti pada ayat rajam:
الشيخ و الشيخة إذا زنيا فارجموهما ألبتة نكالا من الله
Artinya, "Orang tua laki-laki dan perempuan apabila mereka berdua berzina maka rajamlah keduanya."
2.      Mansûkh hukumnya, sementara redaksinya tetap ada di dalam Alquran, seperti surat al-Mujadilah ayat 12:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya, "Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat ini di-naskh hukumnya oleh surat al-Mujadalah ayat 13.

أَأَشْفَقْتُمْ أَن تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya, "Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan."
3.      Mansûkh tilâwah dan hukumnya sekaligus. Contohnya adalah:
عشر رضعات معلومات يحرمن ثم نسخن بخمس معلومات
Artinya, "Sepuluh kali susuan yang tertentu mengharamkan (ibu susunya untuk dinikahi), kemudian Kami hapuskan dengan lima (kali susuan) yang tertentu (saja)."
            Dari pelegalan naskh dalam Alquran ini, para ulama Islam bahkan ada yang sampai mengatakan ayat Alquran yang dinaskh sebanyak 247 ayat. Jamal al-Banna[13] menyebutkan dengan rinci bahwa Ibnu al-Jauzi menghitung 247 ayat yang di-naskh, Abu Abdullah Ibnu Hazm mengatakan 210 ayat yang di-naskh, Abu al-Qasim Hibahullah bin Salama 212 ayat, Abu Ja`far an-Nahhas 134 ayat, dan Abdul Qadir al-Baghdadi menghitung ada 66 ayat yang di-naskh.[14] Selanjutnya Jamal menyebutkan beratus ayat yang dianggap telah di-naskh tersebut.
            Berikut adalah tabel pe-naskh-an dua ratusan ayat Alquran yang dikumpulkan oleh Jamal al-Banna, walau di antaranya menjadi pertimbangan dari pelbagai ulama, karena tidak termasuk dalam kategori naskh:[15]
No
Ayat yang di-naskh
Ayat yang me-nashk
1
QS. Al-Baqarah [2]: 62
QS. At-Taubah [9]: 5
2
QS. Al-Baqarah [2]: 83
Ayat saif (pedang)
3
QS. Al-Baqarah [2]: 109
QS. At-Taubah [9]: 29
4
QS. Al-Baqarah [2]: 115
QS. Al-Baqarah [2]: 144
5
QS. Al-Baqarah [2]: 159
QS. Al-Baqarah [2]: 160
6
QS. Al-Baqarah [2]: 173
Hadis Nabi
7
QS. Al-Baqarah [2]: 178
QS. Al-Maidah [5]: 45; atau
QS. Al-Isra' [17]: 33
8
QS. Al-Baqarah [2]: 180
QS. An-Nisa` [4]: 11
9
QS. Al-Baqarah [2]: 183
QS. Al-Baqarah [2]: 187
10
QS. Al-Baqarah [2]: 184
QS. Al-Baqarah [2]: 185
11
QS. Al-Baqarah [2]: 190
QS. At-Taubah [9]: 36
12
QS. Al-Baqarah [2]: 191
Penggalan akhir
QS. Al-Baqarah [2]: 191
13
QS. Al-Baqarah [2]: 192
Ayat saif
14
QS. Al-Baqarah [2]: 196
Penggalan QS. Al-Baqarah [2]: 196
15
QS. Al-Baqarah [2]: 215
QS. At-Taubah [9]: 60
16
QS. Al-Baqarah [2]: 217
Ayat saif
17
Penggalan awal
QS. Al-Baqarah [2]: 219
QS. An-Nisa' [4]: 43; dan
QS. Al-Ma'idah [5]: 90
18
Penggalan akhir
QS. Al-Baqarah [2]: 219
Ayat zakat
19
QS. Al-Baqarah [2]: 221
QS. Al-Ma'idah [5]: 5
20
QS. Al-Baqarah [2]: 228
QS. Al-Baqarah [2]: 229
21
Penggalan QS. Al-Baqarah [2]: 229
Penggalan akhir
QS. Al-Baqarah [2]: 229
22
QS. Al-Baqarah [2]: 233
Penggalan akhir
QS. Al-Baqarah [2]: 233
23
QS. Al-Baqarah [2]: 240
QS. Al-Baqarah [2]: 234; dan
QS. Al-Ahzab [33]: 50
24
QS. Al-Baqarah [2]: 256
Ayat saif
25
QS. Al-Baqarah [2]: 282
QS. Al-Baqarah [2]: 283
26
QS. Al-Baqarah [2]: 284
QS. Al-Baqarah [2]: 286; 285
27
QS. Ali Imran [3]: 20
Ayat saif
28
QS. Ali Imran [3]: 86
QS. Ali Imran [3]: 89
29
QS. Ali Imran [3]: 102
QS. At-Taghabun [64]: 16
30
QS. An-Nisa' [4]: 8
QS. An-Nisa' [4]: 11
31
QS. An-Nisa' [4]: 9
QS. Al-Baqarah [2]: 182
32
QS. An-Nisa' [4]: 10
QS. An-Nisa' [4]: 6
33
QS. An-Nisa' [4]: 15
Penggalan QS. An-Nisa' [4]: 15;
dan hadis nabi
34
QS. An-Nisa' [4]: 16
QS. An-Nur [24]: 2
35
QS. An-Nisa' [4]: 17
QS. An-Nisa' [4]: 18
36
QS. An-Nisa' [4]: 19
Penggalan QS. An-Nisa' [4]: 19
37
QS. An-Nisa' [4]: 22
Penggalan akhir  
QS. An-Nisa' [4]: 22
38
QS. An-Nisa' [4]: 23
Penggalan akhir 
QS. An-Nisa' [4]: 23
39
QS. An-Nisa' [4]: 24
QS. Al-Mu'minun [23]: 6
40
QS. An-Nisa' [4]: 29
QS. An-Nur [24]: 61
41
QS. An-Nisa' [4]: 33
QS. Al-Anfal [8]: 75
42
QS. An-Nisa' [4]: 63
Ayat saif
43
QS. An-Nisa' [4]: 64
QS. At-Taubah [9]: 80
44
QS. An-Nisa' [4]: 71
QS. At-Taubah [9]: 122
45
QS. An-Nisa' [4]: 80
Ayat saif
46
QS. An-Nisa' [4]: 81
Ayat saif
47
QS. An-Nisa' [4]: 90
Ayat saif
48
QS. An-Nisa' [4]: 91
Ayat saif
49
QS. An-Nisa' [4]: 92
QS. At-Taubah [9]: 1
50
QS. An-Nisa' [4]: 93
QS. An-Nisa' [4]: 116; dan
QS. Al-Furqan [25]: 68
51
QS. An-Nisa' [4]: 145
QS. An-Nisa' [4]: 146
52
QS. An-Nisa' [4]: 88
Ayat saif
53
QS. An-Nisa' [4]: 84
Ayat saif
54
QS. Al-Ma'idah [5]: 2
Ayat saif
55
QS. Al-Ma'idah [5]: 13
QS. At-Taubah [9]: 29
56
QS. Al-Ma'idah [5]: 33
QS. Al-Ma'idah [5]: 34
57
QS. Al-Ma'idah [5]: 42
Penggalan akhir
QS. Al-Ma'idah [5]: 42
58
QS. Al-Ma'idah [5]: 99
Ayat saif
59
QS. Al-Ma'idah [5]: 105
Penggalan QS. Al-Ma'idah [5]: 105
60
QS. Al-Ma'idah [5]: 106
QS. Ath-Thalaq [65]: 2
61
QS. Al-Ma'idah [5]: 107
QS. Ath-Thalaq [65]: 2
62
QS. Al-Ma'idah [5]: 108
Ayat syahadat orang Islam
63
QS. Al-An`am [6]: 15
QS. Al-Fath [48]: 2
64
QS. Al-An`am [6]: 68
QS. An-Nisa' [4]: 140
65
QS. Al-An`am [6]: 70
QS. At-Taubah [9]: 29
66
QS. Al-An`am [6]: 91
Ayat saif
67
QS. Al-An`am [6]: 104
Ayat saif
68
QS. Al-An`am [6]: 106
Ayat saif
69
QS. Al-An`am [6]: 107
Ayat saif
70
QS. Al-An`am [6]: 108
Ayat saif
71
QS. Al-An`am [6]: 112
Ayat saif
72
QS. Al-An`am [6]: 119
QS. Al-Ma'idah [5]: 5
73
QS. Al-An`am [6]: 135
Ayat saif
74
QS. Al-An`am [6]: 159
Ayat saif
75
QS. Al-A`raf [7]: 180
Ayat saif
76
QS. Al-A`raf [7]: 199
Ayat saif
77
QS. Al-Anfal [8]: 1
QS. Al-Anfal [8]: 41
78
QS. Al-Anfal [8]: 33
QS. Al-Anfal [8]: 34
79
QS. Al-Anfal [8]: 38
QS. Al-Anfal [8]: 39
80
QS. Al-Anfal [8]: 61
QS. At-Taubah [9]: 29
81
QS. Al-Anfal [8]: 65
QS. Al-Anfal [8]: 66
82
QS. Al-Anfal [8]: 72
QS. Al-Anfal [8]: 75
83
QS. At-Taubah [9]: 1
QS. At-Taubah [9]: 5
84
QS. At-Taubah [9]: 34
Ayat zakat
85
QS. At-Taubah [9]: 39
QS. At-Taubah [9]: 122
86
QS. At-Taubah [9]: 43
QS. An-Nur [24]: 62
87
QS. At-Taubah [9]: 80
QS. Al-Munafiqun [63]: 6
88
QS. At-Taubah [9]: 97
QS. At-Taubah [9]: 99
89
QS. At-Taubah [9]: 98
QS. At-Taubah [9]: 99
90
QS. Yunus [10]: 15
QS. Al-Fath [48]: 2
91
QS. Yunus [10]: 20
Ayat saif
92
QS. Yunus [10]: 41
Ayat saif
93
QS. Yunus [10]: 108
Ayat saif
94
QS. Hud [11]: 15
QS. Al-Isra' [17]: 18
95
QS. Hud [11]: 121
Ayat saif
96
QS. Hud [11]: 122
Ayat saif
97
QS. Ar-Ra`d [13]: 40
Ayat saif
98
QS. Ar-Ra`d [13]: 6
QS. An-Nisa' [4]: 116
99
QS. Al-Hijr [15]: 3
Ayat saif
100
QS. Al-Hijr [15]: 85
Ayat saif
101
QS. Al-Hijr [15]: 88
Ayat saif
102
QS. Al-Hijr [15]: 89
Ayat saif
103
QS. Al-Hijr [15]: 94
Ayat saif
104
QS. An-Nahl [16]: 67
QS. Al-A`raf [7]: 133; atau
QS. Al-Ma'idah [5]: 91
105
QS. An-Nahl [16]: 82
Ayat saif
106
QS. An-Nahl [16]: 106
Ayat saif; atau Penggalan akhir
 QS. An-Nahl [16]: 106
107
QS. An-Nahl [16]: 125
Ayat saif
108
QS. An-Nahl [16]: 127
Ayat saif
109
QS. Al-Isra' [17]: 24
QS. At-Taubah [9]: 113
110
QS. Al-Isra' [17]: 54
Ayat saif
111
QS. Al-Isra' [17]: 110
QS. Al-A`raf [7]: 205
112
QS. Al-Kahf [18]: 29
Illâ an yasyâ Allâh
113
QS. Maryam [19]: 39
Ayat saif
114
QS. Maryam [19]: 59
Ayat saif
115
QS. Maryam [19]: 75
Ayat saif
116
QS. Maryam [19]: 84
Ayat saif
117
Penggalan QS. Maryam [19]: 59
QS. Maryam [19]: 60
118
QS. Thaha [20]: 130
Ayat saif
119
QS. Thaha [20]: 135
Ayat saif
120
QS. Al-Hajj [22]: 52
QS. Al-A`la [87]: 6
121
QS. Al-Hajj [22]: 56
Ayat saif
122
QS. Al-Mu'minun [23]: 54
Ayat saif
123
QS. Al-Mu'minun [23]: 96
Ayat saif
124
QS. An-Nur [24]: 4
QS. An-Nur [24]: 5
125
QS. An-Nur [24]: 3
QS. An-Nur [24]: 32
126
QS. An-Nur [24]: 6
QS. An-Nur [24]: 9
127
QS. An-Nur [24]: 27
QS. An-Nur [24]: 29
128
QS. An-Nur [24]: 31
QS. An-Nur [24]: 60
129
QS. An-Nur [24]: 54
Ayat saif
130
QS. An-Nur [24]: 58
QS. An-Nur [24]: 59
131
QS. Al-Furqan [25]: 69
QS. Maryam [19]: 60
132
QS. Al-Furqan [25]: 63
Ayat saif
133
QS. Asy-Syu`ara' [26]: 224
QS. Asy-Syu`ara' [26]: 227
134
QS. An-Naml [27]: 92
Ayat saif
135
QS. Al-Qashash [28]: 55
Ayat saif
136
QS. Al-Ankabut [29]: 46
QS. At-Taubah [9]: 29
137
QS. Luqman [31]: 23
Ayat saif
138
QS. As-Sajdah [32]: 30
Ayat saif
139
QS. Al-Ahzab [33]: 48
Ayat saif
140
QS. Al-Ahzab [33]: 52
QS. Al-Ahzab [33]: 50
141
QS. Saba' [34]: 25
Ayat saif
142
QS. Fathir [35]: 23
Ayat saif
143
QS. Ash-Shaffat [37]: 174
Ayat saif
144
QS. Ash-Shaffat [37]: 175
Ayat saif
145
QS. Ash-Shaffat [37]: 178
Ayat saif
146
QS. Ash-Shaffat [37]: 179
Ayat saif
147
QS. Shad [38]: 70
Ayat saif
148
QS. Shad [38]: 88
Ayat saif
149
QS. Az-Zumar [39]: 3
Ayat saif
150
QS. Az-Zumar [39]: 13
QS. Al-Fath [48]: 2
151
QS. Az-Zumar [39]: 15
Ayat saif
152
QS. Az-Zumar [39]: 23
Ayat saif
153
QS. Az-Zumar [39]: 39
Ayat saif
154
QS. Az-Zumar [39]: 46
Ayat saif
155
QS. Az-Zumar [39]: 41
Ayat saif
156
QS. Ghafir [40]: 55
Ayat saif
157
QS. Ghafir [40]: 77
Ayat saif
158
QS. Fushshilat [41]: 34
Ayat saif
159
QS. Asy-Syura [42]: 5
QS. Ghafir [40]: 7
160
QS. Asy-Syura [42]: 6
Ayat saif
161
QS. Asy-Syura [42]: 15
QS. At-Taubah [9]: 29
162
QS. Asy-Syura [42]: 20
QS. Al-Isra' [17]: 18
163
QS. Asy-Syura [42]: 23
QS. Saba' [34]: 47
164
QS. Asy-Syura [42]: 39
QS. Asy-Syura [42]: 43
165
QS. Asy-Syura [42]: 41
QS. Asy-Syura [42]: 43
166
QS. Asy-Syura [42]: 48
Ayat saif
167
QS. Az-Zukhruf [43]: 83
Ayat saif
168
QS. Az-Zukhruf [43]: 89
Ayat saif
169
QS. Ad-Dukhan [44]: 59
Ayat saif
170
QS. Al-Jatsiyah [45]: 14
Ayat saif
171
QS. Al-Ahqaf [46]: 9
QS. Al-Fath [48]: 2
172
QS. Al-Ahqaf [46]: 35
Ayat saif
173
QS. Muhammad [47]: 4
Ayat saif
174
QS. Muhammad [47]: 36
QS. Muhammad [47]: 37
175
QS. Qaf [50]: 39
Ayat saif
176
QS. Qaf [50]: 45
Ayat saif
177
QS. Adz-Dzariyat [51]: 19
Ayat zakat
178
QS. Adz-Dzariyat [51]: 54
QS. Adz-Dzariyat [51]: 55
179
QS. Ath-Thur [52]: 48
Ayat saif
180
QS. An-Najm [53]: 29
Ayat saif
181
QS. An-Najm [53]: 39
QS. An-Nisa' [4]: 11
182
QS. al-Mujadalah [58]: 12
QS. al-Mujadalah [58]: 13
183
QS. al-Mumtahanah [60]: 8
QS. al-Mumtahanah [60]: 9
184
QS. al-Mumtahanah [60]: 10
Penggelan QS. al-Mumtahanah [60]: 10; atau QS. at-Taubah [9]: 1
185
QS. al-Mumtahanah [60]: 11
Ayat saif
186
QS. Al-Qalam [68]: 44
Ayat saif
187
QS. Al-Qalam [68]: 48
Ayat saif
188
QS. Al-Ma`arij [70]: 42
Ayat saif
189
QS. Al-Muzammil [73]: 1
QS. An-Nisa' [4]: 28
190
QS. Al-Muzammil [73]: 10
Ayat saif
191
QS. Al-Muzammil [73]: 11
Ayat saif
192
QS. Al-Muzammil [73]: 19
QS. Al-Insan [76]: 30; atau ayat saif
193
QS. Al-Muddatstsir [74]: 11
Ayat saif
194
QS. Al-Qiyamah [75]: 16
QS. Al-A`la [87]: 6
195
QS. Al-Insan [76]: 24
Ayat saif
196
QS. Al-Insan [76]: 29
Ayat saif
197
QS. `Abasa [80]: 12
QS. At-Takwir [81]: 29
198
QS. Ath-Thariq [86]: 17
Ayat saif
199
QS. Al-Ghosyiyah [88]: 22
Ayat saif
200
QS. At-Tin [95]: 8
Ayat saif
201
QS. Al-`Ashr [103]: 2
QS. Al-`Ashr [103]: 3
202
QS. Al-Kafirun [109]: 6
Ayat saif
Dari sekian banyak ayat yang dianggap telah mansûkh menurut pelbagai ulama ini, menurut Jamal al-Banna tidak pantas dikatakan naskh. Dari sini, salah satu alasannya untuk menolak keberadaan naskh dalam Alquran.

E. Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Naskh
            Menanggapi diskursus naskh ini, ulama terbagi menjadi dua golongan yakni: pertama yang menerima adanya naskh dan kedua adalah golongan yang tidak menerima adanya naskh. Golongan yang pertama adalah jumhur ulama, mereka berpendapat bahwa naskh dapat diterima oleh akal dan telah terjadi pada hukum syara’. Mereka mengemukakan dalil sebagai berikut:
1.   Bahwa perbuatan-perbuatan Allah tidak tergantung kepada alasan dan tujuan. Ia bisa saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu lain.
2.      Adanya teks Alquran dan Hadis yang menunjukkan kebolehan terjadi naskh seperti pada:

مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Artinya, "Ayat mana saja yang Kami naskhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?"[16]

وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَّكَانَ آيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُواْ إِنَّمَا أَنتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ

Artinya, "Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui."[17]
           
            Ibnu Katsir mengatakan tidak ada kemustahilan adanya nâsikh dan mansûkh atau pembatalan hukum sesuai yang ditunjukkan oleh kedua ayat tersebut.[18] Sementara al-Maraghi yang lebih rasional menyatakan bahwa hukum tidak diundangkan kecuali untuk kepentingan manusia, sementara kepentingan manusia berubah-ubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat, karena itu penggantian hukum bisa saja terjadi sesuai dengan manfaat bagi manusia.[19]
            Sementara, Subhi Shalih menganalogikan alasannya kepada proses turunnya Alquran secara berangsur-angsur sesuai kasus yang terjadi, sesuai kebutuhan dan kemampuan mukallaf untuk mengemban hukum tersebut.[20]
            Secara ringkas, alasan yang dikemukakan para ulama dalam menerima adanya naskh, nâsikh dan mansûkh dalam Alquran berkisar pada kehendak mutlak Allah, kemasalahatan manusia dan fleksibilitas syariat Islam.
            Adapun golongan selanjutnya yaitu golongan ulama yang menolak adanya nâsikh dan mansûkh dalam Alquran. Salah satunya adalah Abu Muslm al-Isfahani (w. 322 H) yang mengatakan bahwa naskh memang logis tapi tidak mungkin terjadi dalam syara’[21]. Pendapatnya ini didasarkan pada ayat:

لا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَلا مِنْ خَلْفِهِ تَنزِيلٌ مِّنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

            Artinya, "Yang tidak datang kepadanya (Alquran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji."[22]
            Di samping itu, mereka yang menolak naskh dalam Alquran beranggapan bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan berikut: [23]
1.      Ketidaktahuan sehingga perlu mengganti atau membatalkan hukum dengan hukum yang lain.
2.      Kesia-siaan dan  permainan belaka.
           
            Para ulama yang menolak adanya naskh dalam Alquran mengajukan alasan lain sebagai berikut:
1.    Kandungan surat al-Baqarah ayat 106 yang menjadi alasan menerima naskh pada dasarnya ditujukan bagi kaum Yahudi yang mengingkari Alquran, artinya kitab suci sebelum Alquran diganti dengan Alquran.
2. Bila di dalam Alquran terdapat naskh, maka dalam Alquran terdapat kesalahan atau saling berlawanan, sebaliknya Alquran menyebutkan:

لا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَلا مِنْ خَلْفِهِ تَنزِيلٌ مِّنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

Artinya, "Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji."[24]
3.     Rasulullah sendiri tidak pernah mengatakan adanya naskh, seandainya ada, maka tentu beliau akan mengatakannya.
4.      Hadis-hadis yang digunakan untuk me-naskh ayat Alquran seperti: “tidak ada wasiat bagi ahli waris” merupakan hadis ahad yang tidak sederajat dengan ayat Alquran.
5.      Pada kalangan yang menerima naskh sendiri tidak terdapat jumlah ayat yang disepakati telah di-naskh.
           
            Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa keinginan para ulama yang menolak naskh dalam Alquran berkisar pada keinginan menjaga kesucian Allah dari sifat-sifat yang tidak pantas dan mempertahankan kandungan Alquran.
            Untuk mewujudkan keinginan tersebut, para ulama yang menolak adanya naskh menempuh langkah mengkompromikan ayat-ayat Alquran yang terlihat bertentangan.[25]
            Agaknya, menurut penulis, faktor perbedaan pendapat ini berdasarkan berbedanya penafsiran kata "ayat" dalam dua ayat yang melegalkan naskh. Tidak sedikit ulama yang menafsirkan kata itu bukan sebagai ayat Alquran.
            Jamal al-Banna menyimpulkan bahwa setelah dikaji delapan puluh dua ayat yang mencantumkan kata "ayat" tidak satu ayat pun yang menjelaskan dan menunjukkan maknanya sebagai ayat Alquran. Tetapi maknanya berkisar mukjizat, dalil, argumen, tanda, dan bukti kenabian.[26]
            Ke-delapan-puluh-dua ayat yang mencantumkan kata "ayat" tersebut adalah: QS. Al-Baqarah [2]: 106; 118; 145; 211; 248 (disebutkan dua kali); 259; QS. Ali Imran [3]: 13; 41; 49 (disebutkan dua kali); 50; QS. Al-Maidah [5]: 114; QS. Al-An`am [6]: 4; 25; 35; 37 (disebutkan dua kali); 109; 124; QS. Al-A`raf [7]: 73; 106; 123; 146; 203; QS. Yunus [10]: 20; 92; 97; QS. Hud [11]: 64; 103; QS. Yusuf [12]: 105; QS. Ar-Ra`d [13]: 7; 27; 37; QS. Al-Hijr [15]: 77; QS. An-Nahl [16]: 11; 13; 65; 69; 101; QS. Al-Isra' [17]: 12 (disebutkan dua kali); QS. Maryam [19]: 10; 21; QS. Thaha [20]: 22; 47; 133; QS. Al-Anbiya' [21]: 5; 91; QS. Al-Mu'minun [23]: 50; QS. Al-Furqan [25]: 37; QS. Asy-Syu`ara' [26]: 4; 8; 67; 103; 121; 128; 139; 154; 158; 174; 190; 197; QS. An-Naml [27]: 52; QS. Al-Ankabut [29]: 15; 35; 44; QS. Ar-Rum [30]: 58; QS. As-Saba' [34]: 9; 15; QS. Yasin [36]: 33; 37; 41; 46; QS. Ash-Shaffat [37]: 14; QS. Ghafir [40]: 78; QS. Az-Zukhruf [43]: 48; QS. Al-Fath [48]: 20; QS. Adz-Dzariyat [51]: 37; QS. Al-Qamr [54]: 2; 15; QS. An-Nazi`at [79]: 20.
            Dari banyak ayat ini, setelah dikaji oleh Jamal al-Banna, menurutnya, tidak satu pun makna kata "ayat" di dalam Alquran bermakna ayat-ayat Alquran, atau dengan istilah lain, ayat-ayat hukum dalam Alquran.
            Penafsiran seperti ini sebenarnya sudah banyak dan dipelopori oleh para mufassir Islam, sebut saja al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh, ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat 106 tersebut dengan makna mukjizat kebenaran Rasul,[27] bukan dengan ayat-ayat hukum Alquran. Hal ini, menurut beliau selaras dan sesuai dengan ayat sebelumnya. Kalau diterjemahkan dengan ayat-ayat hukum yang ada dalam Alquran, justeru tidak pas, dan akan memberi makna yang berbeda secara munâsabah, korelasi antar-ayat.
Jadi makna "ayat" dalam kedua ayat yang melegalkan naskh tidak bermakna ayat Alquran. Tapi bermakna Alquran itu sendiri sebagai mukjizat yang menggatikan mukjizat atau risalah nabi sebelum Nabi Muhammad. Apalagi kalau diperhatikan sebelum dan sesudah ayat 106 surat al-Baqarah tersebut menjelaskan tentang Ahl Kitab, yang secara ilmu munasabah, hal ini memiliki makna yang cukup dalam.

 F. Penutup
            Akhirnya, dengan penjelasan yang serba singkat ini, penulis ingin menyimpulkan beberapa hal, walaupun sebenarnya kesimpulan ada di benak pembaca masing-masing.
            Pertama, naskh menurut etimologi adalah mengangkat dan menghapus. Secara terminologi adalah ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.
            Kedua, naskh berbeda dengan takhsis. Kalau takhsis mengkususkan sesuatu yang umum, sedangkan naskh mengangkat atau menghapus hukum atau tilawah dalam Alquran.
            Ketiga, dalam memutuskan suatu ayat di-naskh atau tidak, maka memperhatikan dan memastikan terlebih dahulu, kedua ayat itu bertentangan atau tidak; ayat yang nasikh dipastikan turun belakangan dari ayat mansukh.
            Keempat, bagi yang setuju adanya naskh dalam Alquran, membaginya menjadi tiga: naskh tilawah dan hukum sekaligus; naskh tilawah saja; dan naskh hukum saja.
            Kelima, ulama berbeda pendapat tentang eksistensi naskh dalam Alquran. Agaknya faktor yang paling urgen dalam perbedaan ini adalah berbedanya menafsirkan kata "ayat" dalam dua ayat yang melegalkan naskh, sebagaimana telah terjelaskan sebelumnya.

BIBLIOGRAFI
Alquran al-Karim
Al-Amidi. al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, juz 2. Mesir: Matb’ah Muhammad Abi
Shabih, tt.
Aziz, Ahmad Dahlan (ed.). Ensiklopedi Islam, jil. 4. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Vanhoeve, 1994.
Al-Banna, Jamal. Tafnid Da`wa an-Naskh fi al-Qur`an al-Karim. Cairo: Dar al-Fikr
al-Islamy, 2004.
Ibnu Katsir. Tafsir al-Qur’an al-Karim, jil. 1. Beirut: Dar Fikr, 1992.
Ibnu Manzur, Jamaluddin Muhammad bin Makram. Lisan al-`Arab, jil. 3. Bairut:
Dar al-Fikri, 1994.
Imarah, Muhammad, (ed.). al-A`mâl al-Kâmilah lil Imâm asy-Syaikh Muhammah
Abduh, jil. 4. Cairo: Dar asy-Syuruq, 1993.
Jum'ah, Ali. an-Naskh `ida al-Usuliyyin. Cairo: Nahdet Masr, 2005.
Al-Maraghi, Musthafa. Tafsir al-Maraghi. Beirut: Dar Fikr, tt.
Shalih, Subhi. Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-Ilmiyah, 1988.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Alquran. Jakarta: Mizan, 1995.
Asy-Syatibi. al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah. Beirut: Dar Ma’arif, tt.
Az-Zarqani, Muhammad Abdul `Azim. Manahil al-`Irfan, jil. 2. Cairo: Maktabah
at-Taufiqiyah, tt.
az-Zuahili, Wahbah. at-Tafsîr al-Munîr, jld. 1. Bairut: Dar al-Fikr, 1991.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mudah-mudahan bermanfaat

 

Blogger news

Apa yang anda pikirkan tentang blog ini?