INTELIJENSI
A.
PENGERTIAN INTELIJENSI
Ialah kemampuan
yang dibawa sejak lahir,yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara
tertentu.
Willian stern
mengemukaakan batasan sebagai berikut: intelijensi ialah kesanggupan untuk
menyesuaikan diri kepada, kebutuhan baru dengan menggunakan alat-alat berfikir yang sesuai dengan tujuannya.
Willian stern
berpendapat bahwa intelijensi sebagian besar tergantung dengan dasar dan
turunan. Pendidikan dan lingkungan tidak begitu berpengaruh pada intelijensi
seseorang. Juga Prof.Waterink seorang guru di Amsterdam,, menyatakan bahwa
menurut belum dapat dibuktikan bahwa intelijensi dapat diperbaiki atau dilatih.
Belajar berfikir hanya diartikannya, bahwa banyaknya pengetahuan bertambah akan
tetapi tidak berarti bahwa kekuatan berfikir bertambah baik.
Hal itu
membuktikan bahwa intelijensi pada anak-anak yang lemah fikiran dapat juga
dididika dengan cara yang lebih tepat. Juga kenyataan membuktikan bahwa daya
pikir anak-anak yang telah mendapat didikan dari sekolah, menunjukan
sifat-sifat yang lebih baik dari pada anak yang tidak bersekolah.
Dari batasan yang dikemukakan
diatas, dapat kita ketahui bahwa:
1.
Intelijensi
ialah faktor total. Berbagai macam daya jiwa erat bersangkutan didalamnya
(ingatan, fantasi, perasaan, perhatian, minat dan sebagainya turut mempengaruhi
intelijensi seseorang).
2.
Kita
hanya dapat mengetahui intelijensi dari tingkah laku atau perbuatannya yang
tampak. Intelijensi hanya dapat kita ketahui dengan cara tidak langsung,
melalui “ kelakuan intelijensinya”.
3.
Bagi
suatu perbuatan intelijensi bukan hanya kemampuan yang dibawa sejak lahir saja
yang penting. Faktor-faktor lingkungan dan pendidikan pun memegang peranan.
4.
Bahwa
manusia itu dalam kehidupannya senantiasa dapat menentukan tujuan-tujuan yang
baru, dapat memikirkan dan menggunakan cara-cara untuk mewujudkan dan mencapai
tujuan itu.[1]
B.
HAKIKAT
INTELIJENSI
Inti
persoalan daripada sifat intelijensi itu dapat dirumuskan dengan pertanyaan:
“Apakah intelijensi itu?”. Pertanyaan ini justru dalam bentuk yang demikian itu
menjadi objek diskusi yang hangat bagi banyak ahli-ahli psikologi, terutama
disekitar tahun-tahun 1900-1925. Persoalanya telah tua sekali, lebih tua dari
psikologi itu sendiri, karena hal tersebut telah dibahas oleh ahli-ahli
filsafat dan kemudian ahli-ahli biologi sebelum psikologi sebagai ilmu
pengetahuan yang berdiri sendirih ahli.
Para
ahli psikologi mila-mula membahas masalah tersebut, yaitu sifat hakikat
intelijensi, memakai metode filsafat, yaitu merka menyusun definisi mengenai
intelijensi itu atas dasar pemikiran spekulatif-logis. Pada waktu yang
bersamaan dengan kejadian yang dikemukakan di atas itu tes-tes yang mula-mula
berhasil disusun oleh beberapa ahli. Sepanjang pengalaman penulis tidaklah
selalu ada hubungan yang jelas antara definisi mengenai intelijensi dan
pengukuran intelijensi yang diajukan oleh seorang ahli.[2]
Di
sini secara garis besar akan dikemukakan berbagai konsepsi mengenai intelijensi
itu, yang merupakan jawaban bagi pertanyaan “Apakah intelijensi itu?” yang
tersebut dimuka. Konsepsi-konsepsi tersebut pada dasarnya digolongkan-golongkan
menjadi lima kelompok, yaitu:
1) Konsepsi-konsepsi yang bersifat spekulatif
2) Konsepsi-konsepsi yang bersifat pragmatis
3) Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analisis faktor yang kiranya dapat
kita sebut konsepsi-konsepsi faktor
4) Konsepsi-konsepsi yang bersifat operasional
5) Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analisa fungsional,yang kiranya
dapat kita sebut konsepsi-konsepsi fungsional.
1.
Konsepsi-konsepsi yang bersifat spekulatif
Spearmen, dalam
bukunya yang terkenal, yaitu The Abilities of Man (1927) mengelompokan
konsepsi-konsepsi yang bersifat spekulatif yang menjadi tiga kelompok, yaitu:
a) Yang memberikan definisi mengenai intelijensi umum
b) Yang memberikan definisi mengenai daya-daya jiwa khusus yang merupakan
bagian daripada intelijensi,
c) Yang memberikan definisi intelijensi sebagai taraf umum daripada sejumlah
besar daya-daya khusus[3].
2.
Konsepsi-konsepsi yang bersifat pragmatis
Dasar dari konsepsi
ini kiranya adalah diyatakan oleh Boring, bahwa intelijensi apa yang dites oleh
tes intelijensi, dia menulis antara lain;
Intelligence is what
the tes-tes. This is narrow definition, but it is the only point of departure
for a rigorous discussion of the best.
It would be better if the psychologists could have used some other and more technical
trem; since the ordinary connotation intelligence is much broader. The damage
is done, bowever, and no barm need result if we but remember that measurable
intelligence is simply what the test of intelligence test, until further
scientific observation allows us to extend the definition
Konsepsi
ini cocok sekali dengan selera banyak ahli d Amerika Serikat. Kurang radial
daripada pendapat Boring itu ialah pernyataan Terman, bahwa inteligensi itu
dapat diukur sesuai dengan definisinya. Pernyataan ini dianalogikan dengan
pengetahuan tentang lisrtik; mengukur terhadap listrik tergantung pada definisi yang diberikannya,
panasnya, alirannya dan sebagainya.
Jika
sekitarnya ini benar, maka sebenarnya dengan tes itu kita tidak mendapatkan
pengetahuan baru sama sekali karena yang di ukur itu kita sudah mengerti
sebelumnya.
3.
Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analisis faktor yang kiranya dapat
kita sebut konsepsi-konsepsi faktor
Konsep-konsep ini
dinamakan demikian sebenarnya beralas pada kenyataan bahwa di dalam penyelidikan
dan mencari sifat hakikat intelijensi itu orang mempergunakan teknik analisis faktor,
suatu teknik yang mula-mula dirintis oleh Spearman, dan kemudian cepat
berkembang, terutama di daerah Anggo saksis. Psikologi yang begitu besar
perannya dalam psikologi dewasa ini banyak sekali bersetandar kepada analisis faktor
itu.
4.
Konsepsi-konsepsi yang bersifat oprasional
Apakah intelijensi
itu? Jawaban terhadap pertanyaan pertanyaan ini dengan memberikan definisi yang
disusun secara sekehendak, umumnya dianggap tidak memuaskan oleh para ahli
psikologi. Jalan inilah yang ditempuh oleh mereka yang memakai cara pendekatan
filsafati. Kaum pragmatis membalik jalan yang ditempuh oleh para ahli yang
memakai cara pendekatan filsafati itu. Mereka tidak menentukan definisi
mengenai intelijensi (jadi menentukan: apakah intelijensi itu) dan berusaha
mengukurnya, melainkan mereka menyusun tes dan menyatakan “ intelijensi adalah
apa yang diukur oleh tes ini” tetapi cara pendekatan secara pragmatis ini juga
tidak memuaskan, dan sebenarnya juga sekehendaknya (semau-maunya).
Selanjutnya para
pengikut teori faktor mengikuti jalan pikiran demikian: pertama kita menyusun
peta atau gambar objektif mengenai organisasi mental, dengan cara menganalisis
tes-tes yang telah kita miliki sampai dewasa ini selanjutnya dengan langkah
yang kedua kita menyusun tes yang murni mengenai kemampuan-kemampuan yang
didefinisikan secara objektif dalam analisis faktor.
Ahli-ahli yang
mengikuti operasionisme mengajukan keberatan-keberatan terhadap pendapat para
pengikut teori faktor itu, yaitu pertama mendefinisikan, dan kedua mengikurnya
Keberatan yang
pertama ialah karena tidak (operation) pengukuran itu sendiri sebenarnya secara
implicit telah pula mendefinisikan.
Selanjutnya,
keberatan yang kedua, ditunjukan pada jalan pikiran ini: dengan menganalisis
hasil tes-tes, ahli-ahli yang mengikuti teori faktor berpendapat telah
mengetahui faktor-faktor intelijensi itu, tetapi kata pengikut operasionisme di
manakah letak faktor itu? Cara yang demikian itu secara operasional tak dapat
diterima.
5.
Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analisa fungsional,yang kiranya
dapat kita sebut konsepsi-konsepsi fungsional
Konsepsi ini disusun
atas dasar pemikiran atau analisis mengenai bagaimana berfungsinya intelijensi
itu, lalu dirumuskan sifat-sifat hakikatnya atau definisinya.
Salah satu definisi
yang disusun atas dasar cara seperti yang dikemukakan ialah teori Binet. Binet
menyatakan sifat dan fungsi intelijensi itu ada tiga macam, yaitu:
a. Kecenderungan untuk menetapkan dan mempertahankan (memperjuangkan) tujuan
tertentu. Makin cerdas seseorang, akan makin cakaplah dia membuat tujuan
sendiri, punya inisatif sendiri, tidak menunggu perintah saja. Dan makin cerdas
seseorang, maka dia akan makin tetap pada tujuan itu, tidak mudah dibelokan
oleh orang lain dan suasana lain.
b. Kemampuan untuk mengadakan penyesuaian dengan maksud untuk mencapai
tujuan itu. Jadi makin cerdas seseorang dia akan makin dapat menyesuaikan
cara-cara menghadapi sesuatu dengan semestinya; makin dapat bersifat kritis.
c.
Kemampuan untuk
oto-kritik, yaitu kemampuan untuk mengkritik diri sendiri, kemampuan untuk
belajar darui kesalahan yang telah dibuatnya. Makin cerdas seseorang makin dia
dapat belajar dari kesalahan; kesalahan yang telah dibuatnya tidak muda
diulangi lagi.
Langeveld yang
mengikuti Stern, memberitaukan definisi intelijensi sebagai disposisi untuk
bertindak, untuk menunjukan tujuan-tujuan baru dalam hidupnya, membuat alat
untuk mencapai tujuan itu serta mempergunakannya. Pendapat ada miripnya juga
dengan apa yang dikemukakan oleh Binet.
Selanjutnya, Stern
memberikan penjelasan lebih jauh mengenai disposisi untuk bertindak, yaitu:
a) Disposisi itu tidak merupakan faktor yang mempunyai batas tajam dengan
segi-segi kepribadian yang lain, melainkan hanya merupakan sektor-sektor
daripada kepribadian yang tidak dapat berdiri sendiri.
b) Disposisi ini tidak semata-mata ditentukan oleh dasar, tetapi ditentukan
juga oleh faktor dari luar atau kovergensi antara faktor dasar dan pengaruh
luar.
c) Disposisi ini bermakna rangkap, yaitu potensi dan berarah tujuan. Potensi-potensi
tertentu mempunyai tujuan terentu.
d) Disposisi itu gejala-gejalanya dapat muncul dalam kesadaran, tetapi
bukanlah apa yang bias disebut “gejala kesadaran”. Misalnya intelijensi bukan
lah gejala berfikir, akan tapi yang merupakan syarat mutlak bagi aktifitas
berfikir itu.
Sampai disini
dikemukakan berbagai macam konsepsi mengenai intelijensi. Nyata sekali tidak
ada satu konsepsi pun yang dapat menjelaskan intelijensi itu secara tuntas,
secara selesai tanpa sisa; tiap konsepsi masih meninggalkan masalah yang belum
terselesaikan. Lalu bagaimana pendirian kita? Toh harus ditentukan pendirian?
Pada hemat penulis konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analisis fungsional
lebih sesuai dengan kenyataan dan lebih sesuai dengan kebutuhan kita sebagai pendidik,
sampai nanti ada konsepsi yang dapat merangkum, yaitu yang dapat menghimpun
macam-macam konsepsi dalam satu bangunan teori yang selaras.
C.
INTELIJENSI
DALAM PENDIDIKAN
Intelejensi adalah suatu kemampuan
manusia untuk menerima informasi dari
lingkungan sekitar, informasi yang diterimanya semakin hari semakin bertambah.
Ini terlihat pada masa tumbuh kembang anak, persoalan mengenai intelejensi
sebenarnya sudah sama tuanya dengan manusia itu sendiri. Semenjak manusia mulai
memikirkan dirinya sendiri dia telah mempersoalkan hal- hal yang berkenaan
dengan apa yang disebut intelejensi.[4] Anak
yang tumbuh berkembang dalam lingkungan bernilai pendidikan maka dia akan
memilki intelejensi yang baik tapi jangan juga kita mengira bahwa anak yang
tumbuh di lingkungan yang kurang dari nilai pendidikan tidak memilki
intelejensi, setiap manusia memiliki intelejensi yang berbeda- beda hal ini
dikarenakan tingkat dan tempat informasi yang didapatkan. Intelejensi
Aberkembang dan dapat dibina seiring dengan pertumbuhan kita, terutama pada
lima tahun pertama dalam kehidupan kita, melalui lingkungan dan pengaruh orang
tua dan guru-guru.[5]
Intelejensi
berdasarkan pengaruhnya dibedakan menjadi dua yaitu keturunan dan
linkungan.
Jadi orang tua yang ingin anaknya tumbuh dan berkembang dengan baik
tentu
mereka akan menyediakan media dan hal- hal lain yang dianggap penting
dalam
perkembangan intelejensi anak. Intelejensi manusia pada dasarnya
diawali dengan kesadaran dan berkaitan dengan kapasitas akal, yang
terbentuk melalui perencanaan, tindakan dan akibat- akibatnya atau
perolehan-
perolehan yang ditimbulkannya[6].
Manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan intelektual, sehingga dia dapat
menerima pelajaran dari tuhan. Konsep ini mendorong manusia supaya ingin menggali
potensinya secara matang dan utuh. Semua kegiatan itu bisa terwujud melalui
proses belajar. Melalui proses belajar maka lahirlah bentuk buah karya manusia
atau budaya. Dalam hubungannya budaya sangat erat keterkaitannya dengan
pendidikan, karena salah satu definisi pendidikan antara lain suatu upaya
menciptakan manusia agar memiliki kemampuan untuk menciptakan kebudayaan dan
kemudian budaya tersebut ditransformasikan melalui pendidikan. Dengan cara demikian, maka dia dapat mengasah
akal dan jiwanya untuk membangkitkan intelejensinya untuk memperoleh berbagai
informasi, wawasan dan ketrampilan dan sebagainya berdasarkan usahanya sendiri.
Dalam pendidikan, intelejensi peserta didik sangat dibutuhkan untuk bisa
memahami, menangkap dan mampu mengidefinasikan pelajaran agar dengan demikian
dia mau belajar. Hal ini harus didukung dengan kurikulum dan sarana dan
prasarana serta suasana belajar yang memotivasi peserta didik untuk menggunakan
potensi- potensi kejiwaannya itu. Ini merupakan tugas guru, harus mampu
memengaruhi peserta didiknya agar mau membangkitkan potensinya. Setiap peserta
didik yang mengikuti kegiatan belajar memiliki tingkat dan jenis karakteristik
yang beragam, peserta didik yang belajar berarti mengunakan kemampuan kognitif,
afektif dan psikomotorik terhadap lingkungannya[7], Sambil
bergerak memperhatikan lingkungannya, kita memproses informasi, berupa
memperhatikan mengingat, berpikir, memecahkan masalah, dan menarik kesimpulan.
Cara ini sangat berguna dalam meningkatkan intelejensi, tingkat intelejensi diukur
berdasarkan kecepatan memecahkan masalah. Belajar atau pendidikan adalah
permulaan yang penting dalam perkembangan intelejensi, tidak mengherankan
jikalau belajar itu bertujuan untuk
mencapai tujuan yang lebih baik yang
ditetapkan oleh diri sendiri.
Dalam pendidikan, intelejensi menjadi dua dimensi yaitu:
1.
Kemampuan verbal
yang tercermin dalam perilaku seperti
menampilkan kosa kata yang baik membaca dengan pemahaman yang tinggi,
berpengetahuan mendalam dalam suatu bidang pengetahuan tertentu dan menunjukan
rasa ingin tahu.
2.
Keterampialan
memecahkan masalah berupa mampu menerapkan pengetahuan dalam menghadapi masalah
dan membuat keputusan yang baik.[8]
Maka intelejensi harus diterapkan dalam
proses belajar, pendidikan yang berarti mentransfer ilmu, memerlukan objek yaitu manusia yang berintelejensi untuk
dapat menangkap informasi yang disampaikan.
D.
KESIMPULAN
Kecerdasan
atau dengan kata lain disebut intelijensi merupakan salah satu faktor
terpenting dalam pembentukan karakter seseorang. Kecerdasan ini juga yang
mempengaruhi tingkat kesuksesan dari seorang manusia. Dan ternyata intelijensi
begitu besar pengaruhnya dalam dunia pendidikan, dimana seorang peserta didik
harus dibentuk intelijensinya dengan baik. Sehingga saat beranjak dewasa ia
akan mudah berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Harry Alder, Boost your Intellegence, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001.
H. Abuddin Nata, Perspektif
Islam Tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta:
Penerbit kencana 2009.
John W. Santrock, Adolescence
Perkembangan Remaja, Jakarta: Penerbit Erlangga
2003.
M.Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan,
Bandung: Penerbit Remaja Rosda Karya, 1984.
Sumardi
Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Jakarta:
Rajawali Pers, 2010.
Sumardi Suryabrata, Pengembangan
Alat Ukur Psikologi, Yogyakarta: Penerbit Andi,
2004.
.
[4]
Sumardi Suryabrata. Pengembangan Alat
Ukur Psikologi, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004), hlm. 49.
[5]
Harry Alder. Boost your Intellegence, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2001), hlm. 1.
[6] H.
Abuddin Nata. Perspektif Islam Tentang
Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Penerbit kencana 2009), hlm. 34.
[7] H.
Abuddin Nata. Perspektif Islam Tentang
Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Penerbit Kencana 2009), hlm. 109-110.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mudah-mudahan bermanfaat